PERGUMULAN dan PENGHARAPAN
( Refleksi atas Mazmur 73 )
_oOo_
Pengantar
Mazmur 73 merupakan mazmur ratapan Asaf. Siapakah Asaf? Ia adalah seorang Lewi di zaman pemerintahan Daud, ia diangkat sebagai pemimpin pelayan di hadapan tabut Tuhan untuk memasyurkan nama Tuhan, Allah Israel, dan menyanyikan syukur puji-pujian bagi Tuhan Allah (Taw. 16:4-5).
Mazmur ini mengungkapkan kepada kita satu pertanyaan yang sulit untuk dijawab, mengapa orang benar harus menderita sedangkan orang fasik hidup di dalam kemujuran? Pertanyaan ini menjadi sesuatu yang digumulkan Asaf. Di dalam pemahamannya tentang Allah yang ia kenal, dikatakan bahwa Allah itu baik bagi mereka yang tulus dan bersih hatinya, namun yang ia lihat justru kebalikannya, orang benar menderita, sedangkan orang fasik hidup dalam kemujuran.
Mengapa orang fasik hidup dalam kemujuran?
Haruskah orang fasik hidup dalam kemujuran sementara orang benar hidup menderita? Pertanyaan sulit ini hampir membawa Asaf jatuh ke dalam ketidakpercayaan kepada Tuhan. Dikatakannya, “Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir” (Mzm. 73:2).
Asaf memulai ratapannya dengan satu pernyataan, “Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya” (Mzm. 73:1). Kata pertama yang digunakan pada Mazmur 73 ini adalah kata “sungguh,” ini menunjukkan bahwa Allah itu benar-benar baik bagi mereka. “Mereka” yang dimaksudkan di sini adalah Israel, dan Asaf menempatkan dirinya sebagai bagian dari umat Allah.
Di dalam dunia yang bengkok ini, Ayub tetap berpegang teguh pada kemahatahuan Allah (Ayb. 24:1), Yeremia kepada keadilan Allah (Yer. 12:1), Habakuk kepada kekudusan Allah (Hab. 1:13), demikian halnya dengan Asaf, ia berpegang teguh pada kebaikan Allah (Mzm. 73:1). Di sini kita menyaksikan bagaimana keyakinan dan pengharapan yang dipegang Ayub, Yeremia, Habakuk, dan Asaf tidak dapat dipatahkan oleh realitas dunia yang bengkok ini karena mereka mendasarkannya kepada siapa yang mereka percaya, yaitu Tuhan Allah itu sendiri, bukan kepada pengertian diri mereka sendiri.
Meski demikian, iman yang teguh itu tidak menjamin bahwa mereka tidak dapat dicobai ataupun diuji. Demikian pula dengan Asaf. Kita melihat jauh di lubuk hatinya mulai muncul kecemburuan tatkala melihat kemujuran orang-orang fasik. Ia berkata, “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah” (Mzm. 73:13). Hati yang bersih menandakan orang benar dan tangan menandakan akan tindakan. Artinya perbuatan Asaf tidak ada yang salah. Asaf mulai berpikir bahwa semua tindakannya adalah sesuatu yang percuma dan tidak menghasilkan apapun yang baik dalam kehidupannya. Mengapa demikian? Karena ia melihat orang fasik hidupnya tidak benar, tidak memerdulikan Tuhan bahkan berani menentang Tuhan dan kurang ajar kepada Tuhan, tapi hidup dalam kemujuran. Ia mengklaim kepada langit dan bumi bahwa kemurnian hati atau kesalehan hidup bukanlah prasyarat atas kebaikan Allah (Mzm. 73:9-11). Mereka semua tidak mengalami kesakitan, sehat dan gemuk tubuh mereka. Mereka tidak mengalami kesusahan dan tidak kena tulah seperti orang lain (bandingkan ayat 4 & 5).
Asaf cemburu dan gelisah melihat ada sesuatu yang kontras antara hidupnya sebagai orang benar dengan orang fasik. Ia berpikir seakan-akan Tuhan berlaku tidak adil karena tidak memerdulikan hidupnya meski ia sudah memberikan segalanya dan bahkan hidupnya sendiri bagi Tuhan. Akan tetapi apakah yang Asaf peroleh setelah ia sudah berusaha menjaga kemurnian dan ketulusan hatinya? Ternyata bukan kekayaan, kemakmuran, kelancaran, ataupun kesehatan, melainkan sepanjang hari seakan ia kena tulah dan setiap pagi kena hukum (Mzm. 73:14). Bukankah Allah berjanji bahwa orang benar akan diberkati dan orang fasik akan dikutuk? Bagaimana dengan perjanjian Tuhan dengan umat-Nya? (Ul. 28 & 29).
Walau demikian, apakah yang menahan Asaf untuk tidak jatuh ke dalam kemurtadan kepada Allah dan tetap berpegang pada apa yang ia percaya? Asaf segera berpikir sesuatu yang lain. Ia mengingat identitas dirinya sebagai umat Allah. Dikatakannya, “Seandainya aku berkata: ‘Aku mau berkata-kata seperti itu,’ maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu” (Mzm. 73:15). Asaf tidak dapat melakukan hal itu dan membiarkan dirinya larut dalam segala keraguan di dalam hatinya karena ketika ia mengatakannya maka perkataannya itu akan membawa kesesatan kepada umat-Nya. Sungguh menakjubkan bagaimana keraguannya tidak mampu merebut dia, sekalipun Asaf dipenuhi dengan segala pergumulan untuk mendapatkan jawaban atas apa dilihatnya, meski hal itu sangat sulit untuk dipahami.
Kesudahan orang fasik
Ayat 17 menjadi inti dari Mazmur 73 di mana Pemazmur memfokuskan kembali kepada imannya. Asaf tidak lari dari pergumulannya dan meninggalkan Tuhan Allah, namun ia mencari jawaban tetap dari Tuhan. Asaf membawa kegelisahan hatinya, kekecewaannya mengenai kemujuran orang fasik ke dalam tempat kudusnya Tuhan. “Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka” (Mzm. 73:17). Di dalam tempat kudus Allah, Asaf memahami nasib akhir dari orang-orang fasik. “Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kau taruh mereka, Kau jatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!” (Mzm. 17:18-19). Semua yang tampak atas kemujuran orang fasik di dalam hidup mereka akan lenyap dan binasa segera sebelum penghakiman Tuhan. Karena Allah menempatkan mereka di tempat yang licin sehingga tidak ada halangan, serba lancar, tambah gemuk, tambah sehat, tambah kaya. Apakah ini suatu berkat atau hukuman? Jawabannya ada di ayat 19, bahwa dalam sekejap mata segala sesuatu yang mereka miliki akan lenyap, habis. Jalan licin orang fasik bukan menyatakan bahwa hidup mereka tanpa hambatan, tanpa halangan, tapi dengan cepat mereka akan menuju kepada kehancuran. Tidak ada yang dapat menahannya, sama seperti sebuah mobil yang berjalan tanpa rem yang terus melaju dengan cepat tanpa ada yang bisa menghentikannya.
Asaf menyadari kekeliruannya. Ia malu atas kedunguan dan ketidakmengertiannya (Mzm. 73:20-22). Matanya hanya tertuju kepada dunia yang ia lihat, kepada realitas dunia yang bengkok ini, bukan kepada kekekalan. Asaf hanya melihat kepada sesuatu yang hanya memuaskan kedagingan yang bersifat sementara bukan kepada sesuatu yang kekal dari Allah. Asaf merasa berpegang pada kekayaan itu lebih berharga dan bernilai dari pada Allah sendiri. Apakah ada semua kekayaan yang bersifat duniawi dapat dibandingkan dengan memiliki Allah yang selalu berjalan bersama dia, memegang tangannya dan menuntun dia? Apakah ada janji kesehatan, kemujuran ataupun kuasa yang dapat dibandingkan dengan janji berada di dalam kehadiran dan kemuliaan Allah? Semuanya ini tentunya tidak ada yang dapat dibandingkan. Orang benar akan menantikan atau menunggu apa yang Allah janjikan (Mzm. 73:23-24). Tidak ada pergumulan di dunia ini yang dapat lebih memberikan keuntungan bagi Asaf, kecuali ia tetap berada bersama dengan Allah.
Orang fasik akan kehilangan sesuatu yang kekal, tapi orang benar akan mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini Asaf melihat semua jawaban pergumulannya di dalam kebenaran. Di dalam kebenaran seperti yang dikatakan pemazmur, “...orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar; sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi orang fasik menuju kebinasaan” (Mzm. 1:5-6). Asaf tidak lagi cemburu, menginginkan serta mencari apa yang orang fasik miliki. Ia tidak menginginkan dan merindukan itu semua selain Tuhan sendiri. Adakah sesuatu yang lebih bernilai dari pada Tuhan sendiri? Adakah sesuatu yang lebih memberikan kemujuran, kesukaan selain Tuhan sendiri? Tidak ada. Ia berkata, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-Iamanya” (Mzm. 73:26). Asaf berkomitmen pada dirinya sendiri bahwa ia tidak memilih dunia ini tapi memilih dekat dengan Allah, karena Tuhan Allahlah tempat perlindungannya sehingga ia dapat menceritakan kabar baik tentang pekerjaan-Nya kepada umat-Nya, Israel.
Pengharapan di dalam Kristus
Di dalam imannya kepada Tuhan Allah, sesungguhnya Asaf memandang sebuah pengharapan yang tidak dapat binasa, cemar dan layu. Pengharapannya tidak dimulai dari penderitaan yang dialami melainkan dari Tuhan Allah. Sebagaimana halnya pengharapan yang ditunjukkan oleh Asaf, orang Kristen yang percaya di dalam Kristus Tuhan sungguh memiliki hidup berpengharapan di tengah penderitaan yang dialami. Di dalam 1 Petrus 1:6-9, Petrus menegaskan bahwa orang-orang Kristen yang mengalami penderitaan, melalui kebangkitan Kristus, dipimpin kepada hidup yang penuh pengharapan. Pengharapan itu tidak dimulai dari penderitaan yang dialami tapi dimulai dari kelahiran kembali oleh kuasa kebangkitan Kristus Tuhan kepada hidup yang penuh berpengharapan.
Kita membutuhkan anugerah Tuhan untuk memahami segala pergumulan dan penderitaan yang dialami supaya di dalam bijaksana Tuhan kita boleh mengerti dan terus bersukacita di dalam pengharapan itu. Penderitaan orang percaya dan pengharapan di dalam Kristus Tuhan berjalan beriringan. Tidak ada gap atau jarak yang jauh di antara keduanya, karena pengharapan itu bukan sesuatu yang “nanti” melainkan “sekarang”. Jikalau pengharapan itu adalah sesuatu yang nanti diberikan maka penderitaan itu menjadi sesuatu yang sulit dijalani dan dimengerti.
Kepada Dia, Kristus Tuhan yang sudah bangkit, sekalipun kita belum melihat-Nya, marilah kita meletakkan pengharapan kepada Dia yang sudah memberikan keselamatan bagi kita orang percaya. Penderitaan, penyakit, kesusahan, dukacita tidak akan merampas sukacita kita di dalam Kristus Tuhan. Semuanya itu tidak akan menghilangkan iman kita karena seperti yang Petrus katakan bahwa di dalam kekuatan Allah kita dipelihara sampai pada zaman akhir.
[ Mulatua Silalahi
]

Persekutuan Studi Reformed
21 Desember 2018