_oOo_
 
Pengantar
 
Kita hidup di tengah situasi di mana bisnis dan teknologi bukan lagi hanya saling berkejaran, melainkan saling mendahului, satu sama lain. Saat pelaku bisnis melihat peluang yang “menghasilkan” maka teknologi dituntut untuk menyediakan fitur yang memungkinkan dalam menggarap peluang itu dengan dukungan infrastruktur secara penuh waktu setiap hari (ini yang dalam bidang teknologi informasi lazim disebut dengan 24x7 high availability). Inilah realita kita: dunia seakan-akan tidak boleh sejenak pun beristirahat secara penuh dan dalam realita seperti inilah kita harus bertahan apabila kita tidak ingin tersingkir apalagi mati. Inilah hal yang bagi kita seakan-akan merupakan realita kita sebagai orang moderen dan pada akhirnya kita juga tidak pernah sempat merenungkan apakah kenyataan ini mempengaruhi sikap moral kita dalam memandang teks sedemikian rupa, khususnya teks Alkitab (biblical text).
 
Pendahuluan
 
Sikap moral kita dalam memandang teks sebagai orang yang hidup pada abad teknologi tinggi ini mau tidak mau dibentuk oleh proses panjang yang telah berlangsung di dalam sejarah. Dalam bagian sebelumnya penulis telah memaparkan mengenai kuatnya pengaruh dualisme “alam” dan ”kebebasan” yang muncul pada akhir abad ke-18 yang telah mengutubkan kehidupan moderen di dalam pemisahan dua hal: pertama, realita fenomena yang berkaitan dengan hal-hal alamiah yang dapat dideskripsikan secara rasional, ditaklukkan, dieksplorasi, bahkan dieksploitasi; dan kedua, realita noumena yang berkaitan dengan kebebasan yang bersifat abstrak, tidak dapat diketahui oleh rasio tetapi tetap harus ada tempatnya di dalam kehidupan kita seakan- akan ia merupakan sesuatu yang dapat kita ketahui. Allah diasingkan dari manusia dan demikian pula sebaliknya. Salah satu keyakinan yang kemudian muncul sebagai hasil perkembangan dualisme ini adalah positivisme (positivism). Dalam tulisan ini penulis mengajak kita untuk memikirkan apa itu positivisme dan bagaimana pengaruhnya pada sikap moral kita terhadap teks Alkitab.
 
Positivisme dan perkembangannya
 
Positivisme merupakan suatu gerakan pemikiran yang berawal dari gagasan August Comte (1798-1857), seorang sosiolog Prancis pada akhir abad ke-18, yang memandang bahwa perkembangan masyarakat atau sejarah umat manusia telah tiba pada tahap ilmiah atau positif di mana secara keseluruhan perkembangan tersebut adalah demikian:
 
  1. Tahap teologis atau fiksi
     
    Pada tahap ini pikiran manusia dipahami selalu mencari sebab utama dan beranggapan bahwa segala fenomena merupakan hasil atau akibat dari tindakan segera yang dilakukan oleh suatu Pribadi Supranatural. Pribadi Supranatural atau Allah, yang manusia pikirkan dalam tahap perkembangan ini, merupakan obyek yang tidak dapat diverifikasi secara alamiah dan oleh karena itu pemikiran manusia pada tahap ini dapat dikatakan fiksional.
     
  2. Tahap metafisis atau abstrak
     
    Pada tahap ini pikiran manusia bertransisi kepada pencarian akan kekuatan abstrak yang ada di belakang fenomena. Pencarian akan Pribadi Supranatural telah ditinggalkan dan dengan demikian pada tahap ini manusia memusatkan perhatiannya pada hubungan antara segala fenomena dengan apa yang ada di belakangnya. Akan tetapi seperti halnya pada tahap teologis hal-hal yang bersifat abstrak seperti ini pun tidak dapat diverifikasi secara alamiah dan dengan demikian dipandang tidak otoritatif.
     
  3. Tahap ilmiah atau positif
     
    Pada tahap ini pikiran manusia mengaplikasikan diri kepada studi alamiah atas hukum atau dalil mengenai bagaimana benda-benda dalam alam ini bekerja. Pada tahap ini Pribadi Supranatural dan kekuatan abstrak dipandang sebagai takhyul dan tidak relevan dengan alam. Penelitian ilmiah merupakan jalan kebenaran baru yang dipandang otoritatif. Pada tahapan ini, bagi Comte, apabila diterapkan dalam ilmu sosial maka teori ini menghasilkan pemahaman bahwa masyarakat bergerak sebagaimana halnya hukum-hukum umum dunia fisik.
     
Seiring dengan keyakinan Comte akan penelitian ilmiah sebagai sumber otoritatif kebenaran pada tahap terakhir ini positivisme kemudian berkembang dari teori sosial menjadi filsafat ilmu pengetahuan terutama sejak meluasnya semangat ilmiah yang berakar dari tradisi dua kelompok di Eropa: pertama, kelompok Inggris yang diwakili oleh skeptisisme empiris seorang filsuf Skotlandia abad ke-18 bernama David Hume (1711-1776) dan kedua, kelompok Austria yang diwakili oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), seorang filsuf pada awal abad ke-20 yang tidak secara langsung tergabung dengan kelompok itu tetapi menganut tradisi yang sama dengan mereka. Masing-masing tradisi tersebut memiliki kekhususan berikut ini:
 
  1. Skeptisisme empiris David Hume yang bertitik tolak dari pengalaman inderawi
     
    David Hume memelopori suatu gagasan skeptik terhadap “problema pengetahuan” abad Pencerahan dengan mempertanyakan apakah sesungguhnya manusia dimungkinkan untuk menjelaskan eksistensi dari segala sesuatu, baik dirinya maupun di luar dirinya sendiri. Menurut Hume, Allah, yang adalah “sumber,” dan manusia, sebagai “yang berasal daripadanya,” sama-sama sulit untuk dipahami; kita mempunyai data tentang sesuatu sejauh sesuatu itu kita alami melalui indera kita tetapi tidak lebih dari itu. Jadi indera, oleh Hume, dipandang sebagai kunci yang penting dalam mengetahui. Oleh karena itu, menurut Hume, persoalan pengetahuan manusia sesungguhnya adalah bahwa manusia hanya mungkin mengetahui dan menjelaskan segala sesuatunya sepanjang hal itu ada di dalam pengalaman inderawinya (sensory experience) dan dengan demikian selalu berkenaan dengan tubuh (body).
     
  2. Positivisme logis Ludwig Wittgenstein yang bertitik tolak dari bahasa
     
    Ludwig Wittgenstein dalam bukunya yang berjudul Tractatus Logico - Philosophicus (1921), suatu proyek ambisius yang didasarkan atas keyakinannya bahwa bahasa logis sesungguhnya hanya dapat mengkomunikasikan hal-hal tentang dunia saja, menganalisa relasi antara bahasa yang kita gunakan dengan realita agar dari situ kita dapat mengidentifikasi dan mendefinisikan batas-batas ilmu pengetahuan. Tractatus sendiri terdiri dari tujuh proposisi dan pada proposisi keenamnya, yaitu “Kritik terhadap Etika dan Teologi,” ensiklopedi Wikipedia mengatakan demikian:
     
     
    ethics is also transcendental, and thus we cannot examine it with language, as it is a form of aesthetics and cannot be expressed. / … etika juga bersifat transendental, dan oleh karena itu kita tidak bisa mengujinya dengan bahasa, sebagaimana ia merupakan suatu bentuk estetika dan tidak bisa diungkapkan.
     
    (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Tractatus_Logico-Philosophicus)
     
     
    Dengan proposisi tersebut Wittgenstein memaksudkan bahwa pada saat kita berbicara tentang kehidupan setelah kematian dan keberadaan Allah, khususnya sejak bahasa logis diyakini hanya dapat mengkomunikasikan hal tentang dunia, ia mendapati bahwa segala diskusi mengenai hal seperti itu sesungguhnya hanya merupakan penyalahgunaan logika saja. Segala pembahasan mengenai dunia mistis, yang berada di luar dunia ‘subyek metafisis’ (orang atau benda yang melakukan atau menjalani tindakan tertentu seperti jalan, duduk atau sakit yang lebih pokok dan utama dari kata “jalan,” “duduk,” dan “sakit” itu sendiri) merupakan hal yang sesungguhnya tidak bermakna. Dengan demikian bagi Wittgenstein banyak bidang tradisional dari filsafat seperti etika dan metafisika yang tidak dapat dibahasakan dan dikomunikasikan secara logis, sesungguhnya merupakan hal yang tidak masuk akal sehingga segala pembahasannya tidak berguna. Keyakinan Wittgenstein akan bahasa logis inilah yang menjadikan semangat positivismenya ini disebut sebagai positivisme logis.
     
Perpaduan skeptisisme empiris Hume dan analisis bahasa Wittgenstein inilah yang kemudian mengarahkan positivisme menjadi filsafat ilmu pengetahuan yang diterapkan pada berbagai bidang. Ensiklopedi Wikipedia memberikan definisi berikut ini kepada positvisme:
 
 
Positivism is a philosophy of science based on the view that information derived from sensory experience, logical and mathematical treatments is the exclusive source of all authoritative knowledge, that there is valid knowledge (truth) only in scientific knowledge. / Positivisme adalah suatu filsafat ilmu pengetahuan yang didasarkan atas pandangan bahwa pengalaman inderawi, serta perlakuan-perlakuan logis dan matematis merupakan sumber eksklusif dari seluruh pengetahuan yang otoritatif, bahwa pengetahuan (kebenaran) yang sah hanya ada di dalam pengetahuan ilmiah.
 
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism_(sociology)#Sociological_positivism)
 
 
Dengan demikian jadilah positivisme ini filsafat yang didasarkan atas keyakinan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan otoritatif adalah ilmu alam dan oleh karena itu segala sesuatu yang berkenaan dengan metafisika (hubungan antara obyek-obyek alamiah di dalam alam ini dengan hal-hal yang supraalamiah) harus ditolak. Segala spekulasi harus dikesampingkan dan dengan demikian hal yang boleh kita terima hanyalah data-data yang telah melewati proses pengujian pengalaman inderawi (empiris) saja.
 
Positivisme logis dan tantangan Prinsip Verifikasi kepada sikap moral terhadap Alkitab
 
Skeptisisme empiris Hume yang menempatkan pengalaman inderawi tubuh sebagai ukuran dalam menilai validitas pengetahuan manusia dan positivisme logis Wittgenstein yang menempatkan bahasa logis sebagai ukuran dalam mengkomunikasikan apakah benar suatu obyek (termasuk halnya metafisika dan teologi) adalah ilmiah atau tidak pada abad ke-20 ini dipadukan oleh seorang filsuf positivisme logis Inggris bernama Sir Alfred Jules Ayer (1910-1989) melalui karyanya Language, Truth and Logic (1936) dalam formulasi Prinsip Verifikasi (Verifiability Principle), suatu metodologi positivisme logis yang digunakan secara luas dalam menilai segala sesuatu termasuk Allah.
 
Teori Ayer berangkat dari pemahaman bahwa suatu pernyataan hanya mungkin menjadi proposisi apabila ia dapat diverifikasi, sebagaimana dikatakan berikut ini:
 
 
Propositions are statements that have conditions under which they can be verified. By the verification principle, meaningful statements have conditions under which their validity can be affirmed or denied. / Proposisi adalah pernyataan-pernyataan yang memenuhi persyaratan di bawah mana ia dapat diverifikasi. Menurut prinsip verifikasi, pernyataan-pernyataan bermakna mempunyai kondisi-kondisi di bawah mana keabsahan mereka dapat dipastikan atau ditolak.
 
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Language,_Truth,_and_Lo gic – Criterion of meaning)
 
 
Prinsip Verifikasi yang dikembangkan oleh Ayer pada dasarnya ditegakkan pertama-tama untuk mengidentifikasi apakah pernyataan-pernyataan yang kita komunikasikan itu (termasuk halnya metafisika dan teologi) sesungguhnya “asli” karena dapat diverifikasi dan dengan demikian ia bermakna dan sah; ataukah “palsu” karena tidak dapat diverifikasi dan dengan demikian ia tidak bermakna dan tidak sah. Dengan demikian secara lain dapat dikatakan bahwa suatu pernyataan disebut bermakna apabila secara hurufiah dapat diverifikasi sehingga dapat membentuk proposisi dan disebut tidak bermakna apabila tidak dapat diverifikasi sehingga tidak dapat membentuk proposisi. Sedangkan pernyataan-pernyataan yang tidak mempunyai makna hurufiah masih dimungkinkan memiliki makna emosional tetapi tidak membentuk proposisi-proposisi apapun yang dapat diverifikasi secara analitis atau empiris. Perhatikan sumber berikut ini:
 
 
According to Ayer, the principle of verifiability is a criterion of meaning that requires every meaningful statement to be capable of being verified. Statements whose truth or falsehood cannot be verified are meaningless. Statements that have no literal meaning may have an emotional meaning, but they do not express propositions that can be analytically or empirically verified.
 
(Sumber: http://www.angelfire.com/md2/timewarp/ayer.html)
 
 
Oleh karena itu, menurut kaum positivis logis, cara untuk membedakan pernyataan atau proposisi yang sah dari yang tidak adalah dengan mempertanyakan bagaimana pernyataan biasa dapat diverifikasi sebagaimana halnya hipotesis ilmiah diuji oleh pengujian ilmiah. Uraian Ayer sebagaimana dikutip oleh Colin Brown adalah demikian:
 
 
Kita mengatakan bahwa sebuah pernyataan itu penting bagi orang yang menerimanya, jika, dan hanya jika, ia mengetahui bagaimana memverifikasi proposisi yang digunakan untuk mengekspresikannya – yaitu, jika ia mengetahui cara pengamatan apa yang memimpinnya, di dalam kondisi tertentu, untuk menerima proposisi itu sebagai kebenaran atau menolaknya kalau salah.
 
(Colin Brown, “Filsafat & Iman Kristen,” Tyndale Press, 1968, edisi terjemahan Lembaga Reformed Injili Indonesia, h. 18)
 
 
Maksud Ayer adalah bahwa kerangka pikir ilmiah seseorang dalam mengamati sesuatu sangat menentukan bagaimana proposisi-proposisi yang diungkapkannya dapat diverifikasi.
 
Oleh karena itu Ayer membedakan dua kategori Verifikasi: yaitu yang kuat dan lemah,
 
 
Strong verification refers to statements which are directly verifiable, that is, a statement can be shown to be correct by way of empirical observation. For example, 'There are human beings on Earth.' Weak verification refers to statements which are not directly verifiable, for example 'Yesterday was a Monday'. The statement could be said to be weakly verified if empirical observation can render it highly probable. / Verifikasi kuat menunjuk pada pernyataan-pernyataan yang secara langsung dapat diverifikasi, yaitu, suatu pernyataan dapat dibuktikan sebagar benar menurut pengamatan empiris. Contoh, ‘Ada umat manusia di Bumi.’ Verifikasi lemah menunjuk pada pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara langsung, contohnya ‘Kemarin adalah suatu hari Senin.’ Pernyataan ini dapat digolongkan sebagai diverifkasi secara lemah apabila pengamatan empiris memandangnya sebagai ‘sangat mungkin’.
 
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Verificationism - Logical Positivism)
 
 
Dengan dua kategori Verifikasi ini, menurut Ayer, kita dapat melihat batas- batas bagaimana secara konklusif suatu proposisi dapat ditentukan keabsahannya. Verifikasi yang kuat (strong verification) bersifat ”sepenuhnya konklusif” (fully conclusive) merupakan hal yang tidak mungkin berlaku bagi proposisi empiris apa saja oleh karena validitas proposisi apa pun bergantung pada pengalaman lebih jauh seseorang. Proposisi ’Ada umat manusia di Bumi’ dapat secara langsung diverifikasi dan terlihat benar dalam pengamatan empiris kita; berlaku secara terbatas bagi proposisi empiris tertentu. Sedangkan verifikasi lemah (weak verification) bersifat ”mungkin saja” (probable), pada sisi lain, merupakan hal yang mungkin bagi proposisi empiris apa saja. Proposisi ’Kemarin adalah suatu hari Senin’ hanya bersifat ”sangat mungkin” karena tergantung pada hari apakah proposisi itu disampaikan, karena apabila proposisi itu diucapkan seseorang dalam kondisi tertentu, misalnya: hari Rabu, maka proposisi tersebut dapat dikatakan sebagai ”tidak sah”.
 
Di luar dua kategori Verifikasi itu hal-hal yang bersifat metafisis atau transenden oleh Ayer dikatakan sebagai tidak bermakna sehingga segala upaya untuk membahasnya adalah sia-sia.
 
 
For Ayer, metaphysical statements, such as statements about transcendent reality, have no objective validity, and therefore are meaningless. Examples of this lack of meaning include statements about the existence or non existence of God. According to Ayer, such statements can be neither proven nor disproven, and cannot be validated or invalidated by empirical testing. / Bagi Ayer, pernyataan-pernyataan metafisis, seperti pernyataan mengenai realitas transenden, tidak mempunyai keabsahan obyektif apapun, dan oleh karena itu sia-sia. Pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna ini contohnya adalah mengenai keberadaan atau ketidakberadaan Allah. Menurut Ayer, pernyataan-pernyataan seperti ini bukan bersifat ‘bisa dibuktikan’ atau ’tidak bisa dibuktikan,’ dan bukan bersifat bisa dinyatakan ‘sah’ atau ‘tidak sah’ menurut pengujian empiris.
 
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Language,_Truth,_and_Logic – Value judgments)
 
 
Dengan demikian menurut prinsip Verifikasi positivisme logis ini, segala pembahasan dan diskusi mengenai agama, Allah dan teologi adalah sia-sia. Pernyataan dan proposisi Kristen ”Yesus Kristus adalah anak Allah dan lahir dari perawan Maria,” yang dengan terminologi Ayer dapat dikatakan sebagai ”tidak memiliki keabsahan obyektif apapun” karena sulit diverifikasi bagaimana Allah dapat hadir dalam rupa seorang manusia dan seorang perawan dapat melahirkan seorang bayi, menurut prinsip Verifikasi dapat dikatakan sebagai pernyataan yang sia-sia belaka atau setidaknya dapat dikatakan penting secara emosional saja.
 
Sikap moral Kristen terhadap prinsip Verifikasi positivisme logis
 
Dalam terang Alkitab, kita melihat bahwa positivisme logis sesungguhnya mempunyai kelemahan mendasar.
 
Pertama, ia meletakkan pengharapannya kepada prinsip Verifikasi yang seharusnya secara khusus diterapkan secara terbatas pada obyek-obyek alam tertentu tetapi dipergunakan secara deduktif untuk menilai segala sesuatunya secara demikian tanpa kecuali. Kita tetap setuju bahwa tentunya terhadap obyek-obyek tertentu, seperti benda-benda alamiah, dapat diterapkan metode pengamatan dan penelitian tertentu. Akan tetapi ketika kita berbicara tentang Allah maka kita harus menyadari bahwa Ia bukan obyek yang sama dengan benda-benda alamiah. Dia adalah subyek yang menyatakan diri-Nya kepada kita. Dia adalah keberadaan yang bereksistensi pada diri-Nya sendiri sehingga siapa Dia adanya sama sekali tidak bergantung pada hasil dan kesimpulan pengamatan kita.
 
Kedua, atas dasar apakah proposisi Kristen seperti ‘dosa telah masuk ke dalam dunia’, dapat mereka katakan sebagai “tidak bermakna” oleh karena tidak “dapat langsung” diverifikasi (dengan kata lain tidak bersifat “sepenuhnya konklusif” menurut verifikasi kuat) atau setidaknya tidak “berkemungkinan” untuk diverifikasi (dengan kata lain tidak bersifat “sesuatu yang mungkin” menurut verifikasi lemah)? Bukankah dosa sesungguhnya merupakan fakta yang secara langsung sangat terasa dalam pengalaman empiris kita dan oleh karena itu proposisi ‘dosa telah masuk ke dalam dunia’ benar-benar bermakna? Positivisme logis dan prinsip Verifikasi yang dikembangkannya telah meniadakan hal yang transenden malampaui pengalaman empiris manusia padahal keyakinan kuat mereka akan kemahakuasaannya itu sendiri sesungguhnya juga merupakan suatu komitmen akan pengalaman empiris dan bahasa manusia yang daya komunikasinya memang terbatas. Oleh karena itu proposisi Kristen akan dunia ini dan segala sesuatunya mau tidak mau harus dibangun atas dasar penyataan Allah sendiri melalui Firman-Nya dan pertolongan Roh Kudus-Nya bagi kita.
 
Berita malaikat dan ketakutan para gembala: verifikasi pengalaman
 
Berita malaikat yang turun kepada para gembala dalam peristiwa kelahiran Kristus: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:” (Luk. 2:10) bukan merupakan pernyataan yang “tidak bermakna” atau sekadar bersifat” mungkin,” melainkan merupakan pernyataan yang “sepenuhnya konklusif”. Kata “jangan takut” dalam berita malaikat itu benar-benar berkaitan dengan pengalaman empiris para gembala: menjaga dombanya di padang pada tengah malam, keterasingan mereka dari bait Allah, dan yang paling utama adalah kondisi mereka sebagai orang berdosa yang menghidupi sejarah panjang yang suram dan penantian bangsa mereka akan Mesias. Sinar terang dari surga yang turun dan menerangi mereka benar-benar telah mengenai tubuh mereka dan secara empiris terlihat oleh kelopak mata mereka. Kemuliaan surgawi menyentuh kehinaan para gembala. Berita yang turun itu benar-benar telah terdengar secara empiris oleh telinga mereka dan akhirnya sukacita surgawi benar-benar memenuhi hati mereka. Surga benar-benar telah datang ke dalam dunia ini dan dialami secara empiris. Hal itu merupakan pengalaman yang dapat diverifikasi dalam hidup orang percaya.
 
Kesimpulan
 
Logika manusia yang terbatas merupakan fungsi dari aspek ”analisa” manusia; oleh karena itu sebelum seseorang melakukan analisa ia harus secara cermat terlebih dahulu mengidentifikasi apa atau siapa yang dijadikan obyek penelitian. Demikian pula makna dan komunikasi yang merupakan fungsi dalam aspek ”bahasa” manusia yang juga terbatas; oleh karena itu dalam mengkomunikasikan sesuatu kita harus mengenali obyek yang kita komunikasikan dan percakapkan dengan kesadaran penuh juga akan keterbatasan bahasa yang kita gunakan. Dari peristiwa kedatangan malaikat pada para gembala, kita melihat bahwa kelahiran Kristus membawa surga turun ke bumi menjadi pengalaman empiris orang percaya. Ia bukan sekadar peristiwa yang menyiratkan pesan moral tertentu saja. Pada satu sisi kelahiran Kristus merupakan suatu peristiwa historis yang merupakan kelanjutan dari apa yang telah berlangsung secara dinamis di dalam sejarah dan pada sisi lain ia juga suatu tonggak yang mengawali turunnya zaman akhir, sesuatu yang bergesekan dengan pengalaman empiris kita hidup di dalam dunia saat ini. Oleh karena itu sikap moral Kristen terhadap prinsip Verifikasi adalah mempertanyakan standar logika yang positivis gunakan untuk menentukan keabsahan dan ketidakabsahan bahasa religius lalu dari situ kita menempatkan analisa kembali pada tempatnya.
 
Penutup
 
Moralitas kita terhadap teks Alkitab merupakan sesuatu yang bukan hanya seluas pribadi. Ia merupakan sesuatu yang seharusnya juga ”menular” (contageous) kepada khalayak ramai. Akan tetapi kita sadar bahwa kita tidak mungkin dapat melakukan hal itu sendiri dalam dunia yang teknologinya semakin maju dan mutakhir ini. Kita memerlukan teman dan rekan sekerja yang memahami panggilah ini secara bersama-sama. Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satu wadah di mana kita dapat menikmati bagaimana mempelajari dan kemudian mengerjakan hal itu. Mari kita gunakan waktu kita yang tersisa ini sebaik-baiknya bagi kemuliaan Tuhan.
 
Selamat Natal 2020 dan Selamat Tahun Baru 2021.
[ Jessy V. Hutagalung, SE]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan